My Journey with Breast Cancer (Part 1)
Penulis: Early Kusuma
Desember 2020
Saat itu aku hanya bisa tertegun, duduk di lantai tangga RS,
sambil berpegangan ke handle tangga. Masih takjub, lebih tepatnya shock dengan
hasil USG Mammae yang aku ambil di hari itu dan hasil konsul dengan dokter
onkologi-ku.
“Ini sudah di level malignant dan harus diambil tindakan
segera,” kata pak dokter.
“Apa tidak ada cara lainnya lagi dok, selain harus dipotong
payudaranya?” tanyaku pada dokter.
“Ada, tapi Mastektomi salah satu cara yang terbaik untuk
mencegah penyebaran kanker, sumber penyakit harus diambil, kalau pengen sehat
dan sembuh,” jawab dokter sambil menjelaskan beberapa alternatif lainnya
kepadaku.
“Baik dok kalau begitu, saya minta waktunya sebentar untuk
membicarakannya dengan bapak dan saudara-saudara saya,” begitu jawabku pada
dokter.
“Baik, kalau sudah siap, segera ke sini lagi ya, nanti saya
buatkan surat pengantar untuk operasi dan rawat inap, karena sebelum operasi,
akan beberapa tahapan tes dan cek lab yang harus dilakukan,” kata dokter lagi.
“Baik Dok,” jawabku lagi.
Kemudian aku keluar ruangan dokter dengan rasa masygul.
Tercenung lama aku di tangga depan RS, aku menangis cukup
lama, dengan segala macam perasaan yang berkecamuk di hati dan pikiranku,
sangat campur aduk sekali rasanya.
Why me, Ya Allah?
Apakah aku akan mati sebentar lagi karena penyakitku ini?
Bagaimana aku akan hidup tanpa payudara?
Bukankah payudara itu salah satu ‘aset’ perempuan yang
membuat sempurna, baik di mata lawan jenis dan orang lain, maupun secara fungsi
sebagai ibu untuk menyusui anak.
Lama aku duduk di tangga bawah depan RS sambil menangis dan
aku tahu, aku dilihatin ibu-ibu security yang berjaga di pintu lobby RS malam
itu.
Setelah tangisku agak mereda, aku menelfon kakakku dan aku
menceritakan yang sudah diinformasikan dokter sebelumnya dan harus menjalani
Mastektomi secepatnya, karena di hasil USG Mammae sudah ‘Red Flag’.
Mendengarkan semua penjelasan ku, kakakku malah ikut nangis,
lebih kenceng lagi dari aku nangisnya.
Akupun bingung, terus akhirnya setelah tangisannya mereda,
kakakku bilang, “Ya sudah, manut saja apa yang sudah dianjurkan dokter, beliau
tahu yang terbaik untuk pasiennya.”
“Iya, InsyaAllah udah mantep kalau memang itu jalan yang
terbaik buatku,” jawabku.
“Aku mau telfon bapak dulu, mau ngabarin hasil periksa dengan dokter hari ini”.
Kemudian aku sudahi pembicaraanku via telfon dengan kakakku
dan mulai menelfon bapak.
Ketika aku menelfon bapak dan memberitahu penyakitku dan
harus menjalani prosedur operasi pengangkatan payudara/Mastektomi demi kebaikan
& kesehatanku, bapakku menjawab dengan suara yang aku tahu persis,
dikuat-kuatkan, aku tahu beliau juga “nggregel” rasanya dengan apa yang akan
aku hadapi ke depannya.
“Ya wes Nok ora opo-opo, manut dokter wae ben mari”, begitu
saran Bapak padaku malam itu dan mencoba menguatkanku.
“Terus arep balik kapan?” tanya bapak lagi padaku.
“Besok aku baru balik ke rumah, malam ini aku tidur di
tempat Bu Lik di Semarang,” jawabku.
“Ya wes, sing ati-ati,”pesan bapak padaku.
“Iya Pak”, jawabku sambil menutup telefon.
Aku tahu, kondisiku ini membuat bapak tambah kepikiran,
karena kesehatan bapak sendiri sedang tidak baik-baik saja selama beberapa
tahun terakhir kemarin.
Karena efek cuci darah seminggu 2 kali. Sudah sejak 2018
sampai awal 2019 wajib cuci darah di RS karena ginjal sudah tidak bisa
berfungsi dengan baik, membuat badan bapak tambah lama tambah lemah, tambah
habis/kurus dan sudah agak susah untuk berjalan.
Aku sangat kepikiran bapak, apalagi kalau kondisi bapak
ngedrop dan perlu opname, operasi dan transfusi, biasanya aku yang bisa punya
waktu lebih menemani di RS, sambil aku sambi-sambi mengerjakan pekerjaan
kantor. Gantian dengan saudara-saudaraku. Dan untuk cuci darah pun aku berusaha
menemani dan menjemput di RS setelah aku pulang dari kantor.
Setelah menenangkan hati dan pikiranku, tiba-tiba aku
ditelefon Bu Lik.
“Mbak Lily dimana? Ini Bu Lik sama Wiki (sepupuku) lagi OTW
ke sana, mau jemput mbak Lily. Mbak Lily gak usah naik go car/grab ke sini,”
kata Bu Lik-ku.
“Ditunggu ya,” kata Bulikku di telefon.
“Baik, Bu Lik,” jawabku.
Akhirnya aku tetap nungguin di tangga depan RS, sampai
mereka sampai ke RS hampir setengah jam. Kemudian Bu Lik memelukku.
“Wes gapapa…, dioperasi biar sembuh yah…. Sekarang ke
Pedurungan dulu, besok baru pulang ke Batang. Mau beli maem apa?” begitu
kata-kata Bu Lik yang berusaha menenangkan diriku. Beliau pasti sangat paham
kalau pikiran dan hatiku yang tentu saja benar-benar sedang tidak baik-baik
saja.
Akhirnya aku otw ke rumah Bu Lik.
To be continued.
Comments
Post a Comment