My Journey with Breast Cancer (Part 2)
Penulis : Early Kusuma
Setelah sampai ke rumah, aku segera mempersiapkan beberapa
hal untuk persiapan operasiku, seperti memproses izin cuti sakitku ke atasan di
kantor dan melakukan beberapa handing over ke beberapa kolegaku dan juga ke
direct superior-ku selama aku izin cuti sakit. Perlu 3 orang yang meng-handle
pekerjaanku selama sakit.
Setelah
segala sesuatunya yang berhubungan dengan pekerjaanku itu selesai, aku mulai
mempersiapkan ‘ubo rampe’ keperluanku sendiri untuk rawat inap dan operasi.
Setelah
selesai mempersiapkan segala sesuatunya untuk persiapan periksa, rawat inap dan
operasi, aku berangkat ke Semarang lagi naik KA.
Setelah
berpamitan dengan bapak, aku segera memesan gocar dan langsung ke stasiun
Pekalongan.
Di sana sudah
ada seseorang yang akan bertemu denganku.
Setelah aku
sampai di stasiun, aku cari-cari sosok laki-laki berwajah teduh itu.
Aku
melambaikan tangan padanya dan berlari-lari kecil menuju ke arahnya dan kami
mencari kursi tunggu yang nyaman.
Setelah
ngobrol banyak. “Baik-baik ya selama aku pergi,” kataku padanya.
“Iyah Nok,”
jawabnya.
“Nok juga,”
katanya.
Btw, aku
memang tipe orang yang lebih suka melakukan semuanya sendiri, tidak ditemani
siapapun, even itu orang yang paling dekat di hatiku sekalipun. Aku tidak mau
merepotkan siapa pun. Apalagi pekerjaan dia yang cukup susah untuk
ditinggalkan, apalagi kalau dia harus menemaniku selama berhari-hari di RS.
Dia pegang
tanganku dan menemaniku sampai keretaku datang.
Masih
berlanjut ngobrolin banyak hal sampai ada suara KA yang datang.
Aku
dipeluknya erat sebelum aku berlari-lari kecil menuju ke KA sambil membawa
koper-koperku.
“Nok Sayang
take care, kabari aku,” kata dia.
“Iya Sayang,”
jawabku. “I love you!” teriakku padanya, sambil memandanginya dan terus
berjalan dan berlari-lari kecil menuju gerbongku.
“I love you
too,” jawabnya sambil melambaikan tangan ke aku.
Wajahnya yang
sangat teduh dan beberapa wejangan darinya sudah cukup membuatku tenang pagi
itu.
Hatiku
“teteg” menghadapi semuanya.
Setelah
menempatkan diri di kursi KA. Aku lanjut berkomunikasi lagi dengannya.
Sampai tak terasa sudah 1 jam dan sudah sampai di Stasiun Poncol.
Aku buru-buru
mencari pak Porter, karena koperku cukup berat dan aku segera memesan gocar ke
RS.
Sepanjang
jalan, aku diajak ngobrol banyak sama drivernya. Dia tanya-tanya ke aku, ya
terus aku jawab jujur, “Mau opname dan operasi Pak,” jawabku.
“Lha kok
sendirian mbak?” tanya pak driver terkejut.
“Iya, memang
saya lebih suka sendiri Pak. Saya ini model orang yang lebih tenang kalau
ngapa-ngapain sendiri Pak,” jawabku padanya.
“Oh, tapi
kasihan mbaknya, masak mau opname dan operasi saja sendiri mba”, timpalnya
lagi.
“Iya ga apa
apa kok Pak, saya santuy saja, apalagi saudara-saudara saya khan kondisinya bekerja
semua, ga semuanya juga bisa cuti lama,” jawabku lagi padanya.
Pak driver
kemudian terdiam lama, kayak mikir.
Eh ngomong
lagi, “Tapi kasihan mbaknya”.
“Beneran saya
gapapa Pak,” jawabku sambil ketawa-ketawa.
“Oh ya sudah
mbak, mudah-mudahan diberikan kelancaran operasi dan kesembuhan ya mba,” kata
si pak driver lagi ke aku.
“Terima kasih
banyak doanya ya, Pak,” jawabku padanya.
“Sama-sama
mbak,” kata si bapak lagi.
Tak terasa
mobil sudah sampai di depan Lobby RS, pak driver buru-buru ke belakang bantuin
ngambilin koperku dan menaruhnya di depan lobby.
“Terimakasih
banyak ya, Pak” kataku padanya.
“Sama-sama
mbak, pokoknya ati-ati selalu dan sehat selalu,” pesan si pak driver lagi.
Aku liat ada
raut sedih di wajah dan matanya.
“Iya Pak,”
jawabku padanya sambil tersenyum.
Pak driver
melanjutkan perjalanannya lagi.
Buru-buru aku
masuk ke RS dan seperti biasa, aku ke bagian Registrasi untuk urusan
administrasi periksa ke dokter onkologi-ku kembali.
Setelah
ketemu dokter, beliau memberikan aku surat untuk rawat inap, melakukan beberapa
cek lab dan surat untuk tindakan operasi. Kemudian aku ke bagian administrasi
rawat inap untuk melakukan registrasi rawat inap, operasi dll.
Semuanya aku
lakukan sendiri.
Setelah dapat
kamar yang sudah sesuai dengan Plafon dari kantor, kemudian aku diantar
petugasnya untuk check in di kamar rawat inap yang dituju.
Lengang
rasanya, begitu aku memasuki ruangan.
Aku mulai
menata barang-barang yang aku bawa dari rumah di lemari kamar RS.
Setelah itu aku mengikuti check lab prosedural sebelum dilakukan tindakan
operasi.
Selama
beberapa hari ini aku menjalani prosedur cek lab dan menunggu hasilnya untuk
diobservasi.
Setelah semua
hasil lab oke, aku dianjurkan untuk melakukan puasa semalam sebelum operasi.
Hal yang
paling tidak membuatku nyaman adalah soal infus.
Ya, karena
venaku sangat kecil dan tipis, dicari-cari di tangan walaupun pakai jarum
suntik yang kecil, tetap susah ketemu. Akhirnya dicari jalan tengah untuk infus
di bagian kaki.
Can you
imagine, padahal syaraf bagian kaki itu sangat sensitif, rasanya nyeri sekali
pada saat ditusuk jarum infus. Walaupun dilakukan perawat yang profesional,
tetap saja ada rasa nyeri. Dan aku harus kuat menahannya, karena tangan kanan
kiriku sangat tidak ‘kooperatif’ untuk dijadikan ‘area tusuk jarum infus’.
Akhirnya
jarum infus di kaki itu sudah ‘positioning’ dengan cukup nyaman di kaki kiriku.
Dan aku sudah mulai dipakaikan baju RS. Baju yg bolong gegernya kayak baju mbak
kunti .
Keesokan
paginya, aku mendapatkan WA dari adik iparku, bahwa dia dan adikku sedang otw
menuju ke RS untuk menemaniku operasi.
Setelah
menjelang jam operasi, 2 perawat mulai membawaku pakai bed RS, didorong sampai
ke ruang operasi. Begitu turun memasuki ruang operasi bagian bawah, aku melihat
adikku dan adik iparku sudah menunggu di ruang tunggu operasi untuk keluarga
pasien.
Pikiranku
seperti terlempar kembali di tahun 2017, pada saat itu aku juga dioperasi, di
tempat yang sama, hanya beda diagnosa saja.
Pada saat
itu, payudara kiriku didiagnosa tumor dan payudara kananku didiagnosa kista
payudara.
Dan dokter
juga sudah menginformasikan kalau memang ganas, ya payudaraku harus diangkat
pada saat itu juga.
Aku sudah
pasrah pada saat itu.
Tapi almh.
Ibukku yang pada saat itu nangis ngguguk dengan kondisiku pada saat itu,
sebelum bed RS-ku didorong ke ruang operasi di atas, Ibuk berdoa sambil
menangis.
Tapi
Alhamdulillah pada saat operasi di tahun itu, semuanya masih under control,
tumorku masih jinak dan hanya diambil bagian yang bermasalah saja.
Aku tidak
bisa membayangkan reaksi Ibu kalau beliau masih ada untuk operasi payudara
besar yang kedua ini.
Kembali lagi
di ruang tunggu operasi pasien di bawah. Dimana hanya boleh pasien yang
bersangkutan saja yang ada di sana, keluarga tidak boleh menunggu.
Pikiranku
walaupun nano-nano, aku berusaha meredamnya dengan berpikiran rileks.
Sampai pada
waktunya 2 perawat mendorong bed aku ke lantai atas, ke ruang operasi khusus.
Bukannya
deg-degan. Tapi aku kedinginan dan bolak balik minta pipis pakai pispot sama
para petugas medis yang sudah ready di ruang operasi.
Karena aku
sangat kedinginan, akhirnya sama beberapa petugas, aku dipakaikan semacam alat
yang bisa bikin badanku hangat dan bisa mengurangi hipotermia.
Aku gak paham
alatnya apa, tapi lebih mirip semacam penyedot debu atau hairdryer panjang
gitu. Gak paham namanya dan juga gak sempet nanya.
Sebelum
dilakukan tindakan , aku diperkenalkan ke beberapa petugas medis yang berjaga
dan membantu tindakan operasiku. Juga ada salah satu dokter anestesi yang
benar-benar baik dan lembut sekali orangnya.
Benar-benar
dibikin rileks. Tapi mungkin karena akunya stress mikirin operasi, obatku agak
lama bekerjanya.
Sampai
akhirnya ada petugas yang bertanya padaku, “Mbak suka lagu atau musik apa? Yuk,
nyetel musik kesukaan ya, biar gak kepikiran.”
“Iyah disetel
aja Pak, asal jangan yang mellow,” jawabku padanya.
Akhirnya
petugas itu nyetelin lagu-lagunya mba JLo.
Cukup lama
aku dan para petugas medis menunggu dokter onkologi-ku datang untuk
mengoperasi.
Setelah
menunggu cukup lama, Alhamdulillah si pak dokter datang.
Posisi aku
sudah disuntik anestesi dan sudah dalam kondisi mabuk setengah sadar.
“Sudah siap
dioperasi? Termasuk yang bagian bawah ketiak kanan juga ya berarti,” kata pak
dokter padaku.
“Iyah Pak,
susah siap” jawabku sambil tersenyum gak jelas .
Setelah itu,
semua gelap.
To be
continued.
Comments
Post a Comment